Minggu, 03 Juli 2011

SEORANG BUNG KARNO MEMBERI CONTOH KEBERSIHAN DENGAN MENYAPU

Tidak banyak masyarakat yang tahu kegiatan pribadi seorang presiden. Demikian pula dengan kebiasaan sehari-hari Bung Karno (BK) semasa hidupnya, baik di dalam maupun di luar istana. Pribadinya yang sederhana dan akrab tapi lugas semakin tampak ketika H. Mangil Martowidjojo, mantan Komandan Detasemen Kawal Pribadi, menuangkan pengalaman dan pengamatannya dalam buku Kesaksian tentang Bung Karno 1945 – 1967 seperti disarikan berikut ini.

——————————————————————————————-

Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, tentara Belanda makin mengancam keamanan Bung Karno dan keluarga. Dari kediaman di Jl. Pegangsaan Timur 56, Jakarta, BK beserta keluarganya diungsikan ke rumah keluarga Mualif Nasution, Sofyan Tanjung, dan ke rumah kawan-kawan dekat BK di Jakarta.
Pada 30 Desember 1945, setiap hari menjelang gelap, di sekitar tempat tinggal Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir terdengar tembakan-tembakan hampir semalam suntuk. Tentara Belanda setiap malam bahkan siang hari pun melakukan teror.
Tanggal 3 Januari 1946, sekitar pukul 18.00, Bung Karno, Bung Hatta, beserta rombongan meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta. Rombongan naik kereta api luar biasa (KLB). Ikut diangkut kereta itu, dua buah mobil kepresidenan Buick 7 seat bercat hitam dan de Soto bercat kuning.
Sebelum BK dan rombongan naik KLB, beberapa kali KLB pura-pura langsir di rel kereta belakang rumah BK, untuk mengelabuhi tentara Belanda. Lampu-lampu dalam KLB sengaja tidak dinyalakan. Setelah semua rombongan naik, dengan aksi langsir KLB bergerak perlahan-lahan meninggalkan Kota Proklamasi. Sampai di Stasiun Manggarai, KLB berhenti. Tentara Belanda yang terdiri atas orang Indonesia melihat-lihat gerbong depan KLB ini. Karena gelap gulita, mereka tidak memperhatikan gerbong belakang dan mengira semua gerbong kosong. Selanjutnya, KLB bergerak lagi meninggalkan Manggarai.
Tiba di Stasiun Jatinegara suasana lebih ngeri lagi. Tentara Belanda yang baru saja diserang TKR memperhatikan KLB. Beruntung mereka tidak masuk ke dalam gerbong, karena situasinya gelap. Berhenti sebentar kemudian KLB bergerak menuju Yogyakarta. Rombongan presiden tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta pada 4 Januari 1946 pagi. Usai upacara penerimaan di Stasiun Tugu, rombongan menuju Pura Pakualaman, istana Sri Paku Alam. Setelah istana siap, Bung Karno dan keluarga meninggalkan Pakualaman dan pindah ke bekas rumah gubernur Belanda di Jalan Malioboro, persis di depan Benteng Vredeburg. Bung Karno sempat berpidato di RRI Yogyakarta untuk mengumumkan ke seluruh dunia bahwa Pemerintah RI sejak saat itu dipindahkan ke Yogyakarta.

Memegang cacing sawah

Ada saja kesibukan Bung Karno selama mengungsi di Yogyakarta. Selain menghadiri sidang kabinet, rapat di daerah, juga memberikan petunjuk dan semangat kepada rakyat daerah dengan mengadakan rapat raksasa. Terutama petunjuk dan semangat berjuang untuk mempertahankan Negara Kesatuan RI. Juga memberikan kursus politik kepada para wanita di Istana Presiden di Yogyakarta hampir setiap bulan sekali.
Di bagian belakang Istana Yogyakarta, terdapat ruangan lebar dan panjang. Di sini BK selalu menggembleng wanita-wanita Indonesia, memberikan kursus politik kepada para wanita, remaja putri, mahasiswi, dan pelajar putri Indonesia di Yogyakarta. Selain BK, beberapa pemimpin lainnya, antara lain Dr. AK Gani, ikut memberikan ceramah dan pidato.
Setiap kali BK selesai memberi pelajaran, bahannya selalu ditulis dan kemudian dibundel jadi satu. Maka jadilah buku berjudul Sarinah. Sarinah adalah nama wanita pengasuh Bung Karno waktu kecil. Lewat buku itu, nama Sarinah menjadi terkenal di seluruh Tanah Air, bahkan sampai ke luar negeri.
Untuk menjaga kesehatannya, BK berolahraga di halaman istana. Halaman ini juga digunakan untuk latihan berbaris Polisi Pengawal Pribadi Presiden, dan ia berlari-lari memutari mereka. Sementara itu Ibu Fatmawati gemar bermain bola keranjang bersama-sama pengawal. BK juga sempat merancang kolam cantik di halaman dalam Istana Presiden di Yogyakarta.
Selama tinggal di Yogyakarta, BK dan Ibu Fatmawati kadang-kadang jalan-jalan sore keluar masuk desa dan sawah. Dari Istana Yogyakarta mereka naik mobil. Sesampai di desa atau sawah, mobil diparkir di pinggir jalan dan ditunggu oleh Pak Arif, sopir pribadi BK. Saat berjalan kaki masuk keluar kampung dan meninjau persawahan, BK dan Ibu Fatmawati dikawal seorang anggota Polisi Pengawal Pribadi Presiden.
Ketika sedang berjalan kaki dan melihat ada cacing merayap di tengah jalan, BK memerintahkan pengawalnya untuk memasukkan cacing itu ke sawah. Ada anggota polisi pengawal merasa jijik memegang cacing, dengan cepat BK memegang cacing kepanasan itu dan memasukkannya ke sawah.
Ia juga bercakap-cakap dengan rakyat jelata yang dijumpainya di desa, di kampung maupun di tengah sawah, sambil duduk santai. Rakyat yang dia ajak ngobrol kelihatan gembira sekali.
Keluar dari istana secara incognito (tidak resmi) sering dilakukan. Suatu hari BK berkata pada Mangil (Letnan Kolonel Polisi Mangil Martowidjojo, Komandan Detasemen Kawal Pribadi Presiden), “Yo, Mangil. Bapak ingin keluar sebentar. Bapak ingin melihat umpyeke wong golek pangan di Jakarta (Bapak ingin melihat kesibukan orang mencari nafkah di Jakarta).”
Kadang-kadang BK pergi ke pantai Layar Berkembang dan makan sate bersama putra-putrinya. Malam hari BK pernah ke daerah Senen, daerah planet (kawasan pelacuran) tempo dulu dan BK jalan mendekati gerbong kereta api yang ditempati orang-orang yang tidak punya tempat tinggal. Ia bercakap-cakap dengan para gelandangan itu. Ada seorang perempuan yang berkata keras, “Lo, itu ‘kan suara Bapak! Itu Bapak, ya?” Karuan saja, sekitar tempat itu penuh dengan orang mengelilingi Bung Karno.

Suka sayur lodeh dan ikan asin

Kebiasaan makan Bung Karno sederhana sekali. Kalau makan di istana, hanya dengan tangan, tidak pakai sendok dan garpu. Ini kebiasaannya sejak dulu, terutama kalau makan bersama keluarga. Nasinya hanya satu mangkok kecil. Yang paling digemari sayur lodeh, sayur asam, dan telur mata sapi. Juga ikan asin goreng dan sambal. Sambalnya tidak dipindah dari cowek atau ditaruh di piring kecil. Tapi harus tetap di cowek (cobek). Benar-benar menu rakyat biasa. Ia juga suka kopi tubruk, sayur daun singkong, sawo, dan pisang.
Kalau pagi suka minum kopi tubruk. Resepnya, satu cangkir diisi dengan satu sendok kopi dan satu setengah sendok gula. Sarapannya tempe goreng atau roti bakar dan dua sendok teh madu tawon, telur ayam mata sapi. Kalau sudah selesai makan, BK selalu merokok satu batang rokok States Express (”555″).
Suatu hari, selesai jalan-jalan di Istana Merdeka Bung Karno mengajak Letnan Soetikno, pembantu ajudan presiden dan Mangil ikut makan pagi. Menunya sederhana. BK makan satu mangkok kecil nasi, sayur daun singkong, sambal, dan ikan asin goreng. Buahnya sawo dan pisang. Ia makan pakai tangan, sedang Letnan Soetikno dan Mangil pakai sendok dan garpu. Minumnya hanya teh. Sambalnya ditaruh di cobek, lengkap dengan munthu-nya.
Kalau minum manis, BK tidak mau pakai gula, tapi sakarin. Ia juga suka makan sate ayam di Pantai Tanjungpriok bersama putra-putrinya. Kalau pergi ke rumah makan, terutama RM Tungkong di Menteng (sekarang namanya RM Cahaya Kota), BK senang mi goreng, nasi goreng, ayam goreng, atau sate ayam.
Soal pakaian, BK paling teliti. Kalau ada wartawan atau kawan berpakaian kurang rapi, atau dasi miring, langsung dia betulkan. Ia sendiri kalau berpakaian sangat rapi.
Pakaian hariannya sederhana. Kalau ada yang robek, diperintahkan menjahitnya kembali dan terus dipakai lagi. Apalagi kalau pakaian sangat disenangi, sungguh pun sudah robek dan sudah jahitan, tetap dipakai. Termasuk sandal, lebih senang memakai yang sudah lama, hampir rusak. BK juga paling gemar dengan kursi rotan yang sudah lama dipakai. Alasannya, kursi rotan lama akan mengikuti bentuk tubuh pemakainya. Jadi, lebih enak diduduki.

Habis menempeleng, minta maaf

Seperti biasanya Bung Karno pergi sore hari bersama Ibu Fatmawati dengan mobil. Mobil Bung Karno di garasi tidak dapat distarter oleh Pak Arif, sopirnya. Begitu tutup mesinnya dibuka, ternyata accu-nya tidak ada.
Accu mobil dipakai oleh ajudannya tanpa memberi tahu terlebih dahulu kepada Pak Arif dan tanpa seizin Bung Karno. BK pun marah. Anggota pengawal pribadi tak berani berkutik. Mereka malah bersikap sempurna dengan berdiri tegap, juga tidak berani bergerak sedikit pun, kecuali matanya yang kedap-kedip, sehingga BK tertawa melihatnya.
Pernah suatu hari di Jakarta, BK marah sekali. Delapan orang pengawal dikumpulkan lalu ditempeleng satu per satu. “Saya mohon Bapak sabar dulu …,” kata Mangil, salah satu korban kemarahan. Belum sampai habis bicara, BK membentak Mangil, “Diam!” Anggota pengawal yang baru saja menerima hadiah bogem mentah itu saling melihat satu sama lain dan semua ketawa kecil.
Setelah kembali ke istana, Bung Karno memanggil Mangil, dan berkata, “Mangil, kau mau tidak memaafkan Bapak? Bapak meminta maaf kepada anah buahmu. Ternyata Bapak berbuat salah kepada anak buahmu.”
“Tidak apa-apa, Pak,” jawab Mangil. Kemudian Bung Karno merangkul Mangil. Belakangan diketahui, BK telah menerima laporan yang salah dari orang lain mengenai salah satu anak buah Mangil.
Biasanya, kalau BK sedang marah, tidak ada yang berani menghadap, kecuali Prihatin, salah seorang anggota Polisi Pengawal Pribadi Presiden. Ketika makan bersama di Istana Tampaksiring di Bali, BK berkata, “Kamu orang itu terlalu. Kalau saya sedang marah, selalu Prihatin yang kau suruh menghadap. Dia sering saya semprot dan saya tahu dia tidak salah. Saya merasa kasihan sama Prihatin. Besok kalau saya ke luar negeri, Prihatin akan saya ajak. Lha mbok kalau saya sedang marah, yang disuruh menghadap saya seorang wanita cantik dengan membawa map surat-surat yang harus saya tanda tangani, ‘kan saya tidak jadi marah. Jullie te erg. Lagi-lagi Prihatin yang datang!” Betul saja, waktu BK pergi ke Kanada, Prihatin diajak.
BK juga pernah marah sekali dan berkata, “Godverdomme. Saya tidak akan berangkat kalau kacamata Bapak tidak ada.” Saat itu BK hendak membaca surat dalam perjalanan dari istana ke lapangan terbang Kemayoran. Ternyata kacamatanya tertinggal di istana.
Suatu pagi Bung Karno jalan kaki mengelilingi istana. Dari arah kamar ajudan presiden, ia mendengar suara radio diputar keras. Ia bertanya kepada seorang pengawalnya, “Siapa itu yang nyetel radio keras-keras?” Polisi pengawal menjawab, bahwa radio itu ada di dalam kamar ajudan.
Sang presiden masuk ke ruang ajudan itu, dan berkata, “Kunnen jullie niet leven zonder radio?” (Tidak dapatkah kalian hidup tanpa radio [keras-keras]). Kebetulan yang ada di ruang itu Kapten Andi Jusuf, yang dijadikan umpan oleh Gandhi dan Mangil.

Celana boneka menghiasi jas Jusuf Muda Dalam

Pernah ada kejadian langka, Bung Karno harus menunggu seorang pengawalnya. Peristiwa itu berlangsung ketika BK pergi ke rumah dokter gigi di Kota Baru, Yogyakarta, dengan sopir Pak Arif, beserta ajudan Pramurahardjo dan dikawal Sudiyo.
Belum lama BK tiba di rumah dokter itu, Sudiyo lapor kepada ajudan presiden, perutnya sakit. Atas keputusan ajudan, Pak Arif diperintahkan mengantar Sudiyo pulang ke istana, dan membawa seorang pengawal pribadi yang sedang bertugas, sebagai pengganti.
Sebelum mobil tadi kembali ke rumah dokter, BK sudah pamit kepada tuan rumah, untuk segera kembali ke istana. Setelah BK sampai di serambi depan, ajudannya gelisah. Ajudan pun melaporkan, mobil belum datang karena dipakai mengantar Sudiyo yang sedang sakit perut, pulang ke istana. Mendengar laporan itu, BK tidak marah, malah berkata, “Baik, tidak apa-apa. Saya tunggu dulu di sini.”
Setelah mobil dan pengawalnya datang, Bung Karno pamit lagi kepada tuan rumah. Sampai di halaman istana, beliau melihat Sudiyo yang tadi sakit perut telah berdiri tegap di serambi istana, siap membuka pintu mobil BK. Bung Karno langsung bertanya kepada Sudiyo, “Kamu tadi sakit perut?”
Sudiyo menjawab, “Ya, Pak.”
Bung Karno selanjutnya menganjurkan kepada Sudiyo, agar lain kali kalau hendak tugas supaya makan pagi dulu, jadi tidak masuk angin. Sambil malu-malu Sudiyo kembali menjawab, “Ya, Pak.”
Dalam suatu perjalanan jauh, BK pernah bertanya pada Pak Arif, “Rif, apa ini yang bunyi berisik?”
Pak Arif menjawab dengan tenang, “Mobilnya, Tuan.”
Bung Karno kembali bertanya, “Kenapa tidak kau cari yang berisik itu dan kau betulkan?”
Pak Arif menjawab, “Dicari sih sudah, Tuan. Tetapi belum ketemu. Orang namanya besi beradu dengan besi, tentu saja berisik sekali, Tuan.”
Mendapat jawaban dari Pak Arif, Bung Karno tidak lagi bertanya.
Pernah juga BK membatalkan keberangkatan rombongan sewaktu akan meninggalkan Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Karena BK mengetahui, semua pengawal belum mendapat sarapan pagi. Padahal rombongan sudah siap berangkat. Bung Karno memerintahkan ajudan supaya keberangkatannya ditunda sampai para pengawal selesai makan pagi.
Selanjutnya, BK memerintahkan ajudannya supaya selalu memperhatikan semua sopir dan pengawal yang sedang bertugas mengawalnya, jangan sampai mereka telantar makan dan minumnya.
Di Istana Merdeka Jakarta, pertengahan 1950, Sudiyo gendut sedang bertugas mengambil sarapan roti dari dapur untuk kawan-kawannya di paviliun. Ketika sedang komat-kamit menghitung jumlah roti yang dibawanya, ia berpapasan dengan Bung Karno yang sedang jalan pagi di halaman istana. Sudiyo memberi salam dengan santai, “Goede morgen mijnheer,” sambil terus berlalu. Ia mengira sedang berpapasan dengan Ven Der Bijl, orang Belanda yang bertugas di istana.
Mendengar ucapan salam itu, Bung Karno langsung berhenti. Beliau menoleh ke arah Sudiyo, dan bertanya kepada pengawalnya, “Siapa dia?”
“Sudiyo gendut, Pak,” jawab sang pengawal.
Bung Karno mengajak pengawalnya itu membuntuti Sudiyo. Ketika Sudiyo sambil jongkok masih juga sibuk menghitung jumlah roti yang dibawanya, BK berdiri di belakangnya sambil berkata, “Kalau rotinya masih saja kurang, ambil lagi ….”
Tanpa menoleh Sudiyo malahan membentak dengan suara keras, “Ya, nanti saja wong masih dihitung kok.”
Bung Karno tertawa, tetapi pengawal langsung menegur Sudiyo, rekannya itu, “He, lihat dulu, kamu sedang bicara dengan siapa?”
Begitu menoleh, Sudiyo baru tahu Bung Karno sudah berdiri di belakangnya. Dengan gemetaran Sudiyo langsung berdiri dan dengan sikap sempurna, melapor, “Siap Pak, Sudiyo mohon maaf.” BK tersenyum dan meneruskan jalan pagi sambil mengontrol kebersihan serta kerapian tanaman di halaman.
Di halaman Istana Yogyakarta yang luas, tumbuh beberapa pohon buah-buahan, antara lain mangga, jambu, kedondong, dan sawo. Kalau sedang panen buah-buahan, Ibu Fatmawati sering membagi-bagi buah-buahan itu.
Pada suatu hari, Bung Karno memergoki seorang anggota Polisi Pengawal Pribadi sedang berada di atas pohon sawo. Anggota polisi itu tahu kalau BK mendekati pohon sawo dan mengira tidak melihatnya. Saking ketakutannya, dia diam di atas pohon tanpa bergerak dengan harapan tak diketahui BK. Bung Karno sengaja tak mau melihat ke atas pohon sawo itu. Kepada polisi yang ada di dekatnya, ia berkata, “Itu buah sawonya kok tambah?”
Anggota pengawal yang diajak bicara kontan tertawa, pengawal yang ada di atas pohon pun ikut tertawa, tapi dengan nada ketakutan. Lalu Bung Karno berkata lagi, “Bapak ‘kan sudah bilang, biar buahnya tua dan matang dulu. Nanti kamu orang juga dibagi. Kalau kamu tidak sabar, pindahkan saja pohon sawo ini ke dekat asramamu itu ….”
Bung Karno kemudian meninggalkan pohon sawo itu. Setelah BK tidak kelihatan lagi, polisi yang ada di atas pohon baru berani turun. Kawan-kawannya pun mengejek, “Rasain lu.” Mulai saat itu, tidak ada lagi yang berani memanjat pohon buah-buahan.
Pernah dalam suatu resepsi di Istana Merdeka, seorang pejabat tinggi membisiki Bung Karno, bahwa saputangan kecil berwarna putih yang menghiasi saku jas Jusuf Muda Dalam agar diambil BK. Itu bukan saputangan asli, tetapi palsu! Tentu saja BK ingin tahu dan terus berusaha mendekati Jusuf Muda Dalam. Pak Jusuf sendiri tidak menaruh curiga ketika didekati BK dengan tersenyum. Setelah dekat sekali, BK tiba-tiba mengambil hiasan putih yang menyerupai setrip putih di atas saku jas Pak Jusuf.
Pak Jusuf terperanjat dan berusaha mempertahankannya. Tetapi sudah terlambat karena benda itu sudah di tangan BK. Ketika BK membuka kain putih itu, orang-orang tertawa terbahak-bahak. Mereka melihat sebuah pakaian dalam perempuan, bersih, putih, dan masih baru. Tetapi itu celana dalam untuk boneka kecil.

Ajudan disuruh tinggal di kandang kuda

Kalau sedang jalan pagi atau sore hari di halaman istana, Bung Karno selalu memperhatikan keadaan sekitarnya. Bagaimana kebersihannya, keadaan tanaman dan bunga, letak pot-pot bunga masih teratur atau tidak.
Suatu pagi, seperti biasa BK jalan-jalan di halaman istana, disertai Sugandhi ajudan presiden dan seorang polisi pengawal pribadi. Melihat bata merah pembatas halaman rumput tidak teratur, BK memerintahkan Sugandhi membetulkan letak bata merah itu. Lantas Pak Gandhi ganti menyuruh pengawal pribadi membetulkannya. Langsung BK berkata, “Ya sudah, kalau kamu tak mau, akan saya kerjakan sendiri.”
Bung Karno kemudian membetulkan letak bata merah itu. Dengan cepat Pak Gandhi dan pengawal pribadi ikut membetulkannya.
Pernah Bung Karno menemukan puntung rokok di sekitar pos penjagaan polisi pengawal pribadi yang tidak dibuang ke dalam asbak. Ia lantas bertanya kepada anggota yang bertugas, “Siapa di antara kamu yang suka merokok? Coba keluarkan, rokokmu merek apa?”
Setelah semua petugas jaga mengeluarkan rokok, tidak ada yang cocok dengan puntung rokok yang dipegang BK. Lalu, ia membuang puntung itu ke asbak di atas meja pos penjagaan dan memerintahkan, agar semua tempat di istana selalu bersih. Jangan dikotori puntung rokok.
Halaman istana banyak pohon besar dan rindang. Tetapi jangan sekali-kali memotong dahan atau rantingnya, sebab Bung Karno akan tahu. Semuanya diatur sendiri olehnya, termasuk tanaman-tanaman kecil di halaman istana.
Di sekitar tempat penjagaan Polisi Pengawal Pribadi Presiden, terdapat pohon besar. Dengan sendirinya, banyak daun kering jatuh di bawahnya. Melihat itu BK langsung berhenti dan menyuruh seorang polisi pengawal mencari sapu. Setelah sapu didapat, segera dia memerintahkan membersihkan tempat itu. BK kemudian meneruskan jalan kaki, dan mengitari halaman istana.
Sewaktu anggota polisi pengawal pribadi itu sedang menyapu, datang tukang kebun sambil meminta sapu itu. Sapu diserahkan oleh polisi pengawal kepada tukang kebun, dan secara kebetulan BK melihat adegan serah terima sapu itu. Ia segera kembali ke pos penjagaan dan meminta sapu dari tukang kebun sambil berkata kepada polisi pengawal tadi, “Baik, kalau kamu tidak mau membikin bersih tempatmu sendiri, Bapak yang akan membersihkannya.”
Setelah Bung Karno selesai menyapu dan membersihkan tempat penjagaan, sapu dibanting sampai gagangnya patah.
Pernah juga BK pagi-pagi masuk di sekitar paviliun di Istana Negara, tempat tinggal polisi pengawal pribadi. Di sini BK melihat tempatnya kotor, kamar mandi dan selokan juga kotor. BK memerintahkan seorang polisi pengawal pribadi mencari sapu dan mengumpulkan semua penghuninya. Kemudian, ia berkata, “Lihat, kamu orang saya beri contoh bagaimana caranya membikin bersih tempat kotor ini.”
Bung Karno memegang sapu dan terus menyapu serta membersihkan tempat itu. Orang-orang gemetar ketakutan ketika melihat BK membersihkan tempat itu. Selesai menyapu BK berkata, “Bisa tidak kamu membikin bersih tempatmu sendiri?”
Di Istana Bogor pun BK selalu memeriksa kebersihan sekitar istana, termasuk tempat tinggal para pelayan. Juga garasi dan kandang kuda. Ketika BK sedang memeriksa kebersihan di sekitar istana, ia diikuti seorang polisi pengawal pribadi dan Kapten CPM Soedarto. Sampai di kandang kuda, sang kapten berkata, “Wah, kandang kuda ini lebih bagus dan lebih bersih dari rumahku.”
Mendengar kata-kata itu, Bung Karno langsung mendekati Kapten Soedarto dan berkata, “Kalau begitu, kamu tinggal saja di sini.” Semua yang mengikuti Bung Karno tertawa lebar.
Dalam mobil BK, selain tidak boleh merokok, sopir tidak boleh ngobrol dengan ajudan serta pengawal pribadi. Tidak boleh memakai minyak wangi yang baunya bikin pusing kepala. Minyak wangi yang selalu dipakai BK bermerek Shalimar buatan Prancis.

Bung Karno terseret mobil

BK mempunyai kebiasaan “aneh”. Beliau selalu memukul-mukul kap atas pintu mobilnya yang akan dinaiki. Bukan kenapa-kenapa. Sebab, kepala BK pernah terbentur pinggiran atas pintu mobilnya. Mulai saat itu pula pengawal selalu diminta BK untuk mengingatkan dengan kata-kata, “Awas pintu, Pak.”
Mendengar kata-kata itu, BK selalu menjawab, “Yooooo,” sambil memukul kap atas pintu mobilnya terus masuk dan duduk di dalam mobil.
Insiden kecil juga pernah terjadi ketika BK menjemput tamu agung dari luar negeri di lapangan terbang Kemayoran Jakarta, dengan mobil sedan terbuka. Waktu pintu mobil ditutup dengan keras oleh Sugandhi, jari tangan BK terjepit pintu mobil hingga luka berdarah. Tentu saja sakit sekali. Akan tetapi, untuk menjaga agar jangan sampai tamunya ikut gelisah, BK tetap tertawa dan melambaikan tangannya kepada rakyat yang ikut menjemput tamu itu.
Pernah juga Bung Karno terseret pintu mobil di serambi Istana Merdeka. Mobil baru berhenti setelah polisi pengawal BK berteriak keras, “Stop, stop!”, gara-gara mobil buru-buru dimajukan sopirnya. Sejak kejadian itu, sopir BK selalu harus turun dari mobil ketika BK akan turun dari mobil, dan baru naik ke mobil setelah BK sudah naik.
Bung Karno tidak pernah lupa membawa tongkat kebesaran. Salah satu tongkat komandonya merupakan hadiah dari Presiden Filipina Quirino. Tongkat ini yang sering dia bawa ke mana-mana dalam acara resmi di Jakarta maupun ke luar kota, ke daerah-daerah, bahkan ke luar negeri. Belakangan orang bilang, tongkat BK mempunyai kekuatan gaib. Berita burung itu sampai ke telinganya. Ia berkata, “Lo, ini ‘kan cuma dibuat dari kayu biasa, dan juga dibuat oleh manusia biasa yang doyan nasi juga.”
Di mejanya selalu terdapat tumpukan koran atau buku bacaan kalau sedang duduk sendirian. Pagi-pagi surat-surat kabar itu harus sudah ada di mejanya. Para anggota DKP (Detasemen Kawal Pribadi) memeriksa, jumlah surat kabar jangan sampai kurang. Kalau ada yang kurang, BK pasti akan menanyakan. Pagi maupun sore hari, ia selalu membaca surat kabar. Bahkan ke kamar kecil pun selalu membaca surat kabar atau majalah.
Bung Karno juga mempunyai kebiasaan khas. Kalau ia duduk di suatu tempat, tidak boleh ada angin dari belakang, tidak boleh ada kipas angin yang dihidupkan di sekitarnya. Ia juga tidak suka tidur di tempat tidur empuk mentul-mentul. Ia terbiasa tidur di tempat tidur beralas papan dan kasur kapuk.
Pernah suatu hari Bung Karno berkata kepada Mangil, “Mangil, kamu itu selalu dekat Bapak. Ibaratnya kamu harus selalu memegang baju Bapak sebelah belakang. Maka dari itu, kamu supaya selalu membawa sakarin dan korek api. Sungguh pun yang minta api itu bukan saya, tetapi orang lain. Kamu memberikan api kepada orang yang akan merokok, kamu dapat pahala.” Sampai-sampai, Mangil selalu membawa korek api, sekalipun ia tidak merokok.
Bung Karno menyukai rokok merek States Express 555. Pernah dalam suatu perjalanan sehabis makan BK minta Rokok “555″, tetapi tidak ada yang punya. Ia berkata kepada rombongannya, “Bapak ini merokok sehari hanya dua batang. Tiap-tiap habis makan satu batang. Kok rokok saya satu kaleng yang isinya 50 batang bisa habis satu hari, itu bagaimana?”
Sejak itu, setiap dalam perjalanan, Mangil membawakan rokok Bung Karno supaya selalu utuh, tidak ada yang berani minta rokok padanya, karena Mangil sendiri tidak merokok. Tetapi kalau keluar istana, selain air putih juga Ovaltine yang selalu disediakan oleh Pembantu Inspektur Polisi Sogol, salah seorang anggota DKP.
Setiap kali akan berpidato, Bung Karno terlebih dahulu selalu minum air putih yang sudah dingin, bukan dikasih air es, atau es atau air yang dimasukkan di dalam kulkas. Tetapi air putih yang sudah dimasak dan dingin, tanpa es. Suatu ketika BK didaulat untuk memberikan wejangan oleh rakyat setempat dalam suatu perjalanan ke daerah Aceh. Sebelum berpidato, Bung Karno minta air minum. Rakyat berebut ingin memberikan air minum. Bung Karno berkata, “Saya minta air minum, bukan air teh, bukan kopi, juga bukan bir. Bapak hanya minta air putih yang sudah dimasak dan sudah dingin tanpa diberi es.”
BK senang sekali menonton pergelaran wayang kulit di Istana Negara. Dalam suatu pertunjukan wayang, ia kagum akan kepahlawanan dan kepatriotan Gatotkaca.
Pernah suatu pagi, seusai menonton pertunjukan wayang kulit, BK bertanya kepada Sugandhi, ajudan Presiden, “Ndi, lucu tidak banyolannya tadi malam?” Sugandhi menjawab, “Lucu sanget, Pak (lucu sekali, Pak).” “Coba tirukan, apa yang kau anggap lucu,” kata BK lagi. Sugandhi tidak dapat menirukan dan dengan terus terang menjawab, “Dalem mboten ningali, Pak (saya tidak nonton, Pak).” Bung Karno hanya tertawa mendengar pengakuan jujur itu.
Bung Karno juga senang menari lenso dalam acara-acara khusus, baik di Istana Merdeka, Istana Negara, Istana Bogor, atau Istana Cipanas. Untuk melayani BK santai, dibentuklah kelompok band ABS, Asal Bapak Senang. Semua lagu kesenangan BK dipelajari dengan baik. BK merasa cocok dengan adanya tim kesenian ini. Kalau BK sedang menari lenso dan iramanya disenangi, tidak boleh diganti dengan lagu lain, sekalipun yang mendengarkan mungkin sudah bosan.
Pernah pada suatu hari Bung Karno dan Ibu Hartini mendapat undangan makan di tempat peristirahatan Duta Besar Amerika Serikat Howard Jones di Puncak, Cipanas. Sehabis makan siang, Bung Karno memanggil saya dan bertanya, “Anak-anak ada atau tidak?”
Bung Karno menari lenso dengan Ny. Jones, yang menyanyi semua anggota polisi pengawal pribadi, sambil memukuli peralatan dapur seadanya untuk memberikan suara dan irama lenso yang dikehendaki BK. Tanpa alat musik pun, tari lenso berlangsung meriah. Selain BK, juga ikut menari Ibu Hartini, Duta Besar Howard Jones dan nyonya, juga para anggota staf Kedutaan Besar AS. Seusai acara, alat-alat dapur tadi pada penyok.

Tidak tegaan

Selain benci penjajahan dan penindasan, Bung Karno juga tidak senang melihat burung dalam sangkar. Pada suatu hari, BK mengadakan inspeksi mendadak ke asrama DKP, yang letaknya berjejer dengan Istana Merdeka. BK segera memanggil pemilik burung serta memerintahkan melepaskannya.
Kata Bung Karno, “Kasihan burung itu, biarkan dia mencari makan di alam bebas. Kamu orang belum pernah mengalami bagaimana susahnya orang ditahan, dipenjarakan tanpa ada kesalahan. Maka, jangan ada pengawal saya memenjarakan burung dalam sangkar, sekalipun sangkarnya dari emas.”
BK sering berziarah, nyekar ke makam ayahnya di Pemakaman Karet, Jakarta. Kadang-kadang di malan hari, tetapi sering pada siang hari, dan melihat gelandangan mengemis. Suatu hari di istana, sekembalinya dari nyekar, BK memanggil Mangil dan berkata, “Coba, Mangil, engkau tanya sama orang sedang menggendong anak kecil sambil menyusui itu, sebetulnya mereka itu punya rumah apa tidak, baik di Jakarta maupun di daerah. Dan kalau memang tidak punya rumah, apakah mereka itu sanggup dipindahkan ke tempat lain. Agar kalau Bapak jalan lewat di tempat itu, orang perempuan yang menggendong anak kecil sudah tidak ada di sana. Saya merasa kasihan sekali kepada perempuan yang menggendong anak kecil itu. Entah bagaimana caranya, ini Bapak ada uang sedikit, kasihkan kepada mereka.”
Suatu ketika BK sedang menonton film di istana, ada adegan kijang kesakitan, ditembak seorang pemburu sementara kijang itu masih mempunyai anak yang harus disusui. Beberapa penonton, baik pelayan maupun pengawal, ketawa cekikikan, karena menurut pemandangan mereka adegan tersebut sangat lucu.
Bung Karno langsung berteriak, “Diam, kamu orang itu tidak tahu rasa kasihan.” Penonton langsung cep klakep, tidak ada yang berani berkutik.
Di sekitar Kandangan, Jawa Timur, tempat BK diungsikan ketika Yogyakarta diserang Belanda, 21 Juli 1947, masih banyak kijang liar. Suatu hari, seorang pengawal berhasil menembak mati seekor kijang. Lalu dagingnya dimasak dan dibagi-bagikan kepada semua teman pengawal. Daging terbaiknya disisakan untuk dibuat dendeng. Setelah siap, dendeng itu diserahkan kepada koki yang memasak makanan untuk BK.
Bung Karno tahu, dendeng itu hasil berburu. Akibatnya, para pengawal, dikumpulkan oleh BK. Lalu, ia berkata, “Kamu orang ini betul-betul tidak mempunyai rasa kasihan kepada sesama hidup. Apa salahnya kijang itu kamu tembak? Bagaimana kalau kijang yang kamu tembak itu masih mempunyai anak kecil yang masih memerlukan pertolongan induknya? Apakah kamu orang di sini kekurangan makan?” Semua pengawal diam dan mulai saat itu tidak ada lagi anggota pengawal yang berburu.
Bung Karno yang gagah dan lantang membangkitkan semangat rakyat (pemuda) untuk mengusir Belanda dengan semboyan: “Sekali Merdeka Tetap Merdeka”, ternyata juga pernah menangis.
Tanggal 18 Juli 1955, BK naik haji ke Tanah Suci Mekkah. Ia bersama beberapa rombongan sempat mengheningkan cipta, dan berdoa di samping makam Nabi Muhammad di Madinah. Saat itu BK menangis seperti anak kecil. (Rye)