Keluarga
Berencana (KB) merupakan salah satu pelayanan kesehatan preventif yang paling
dasar dan utama bagi wanita, meskipun tidak selalu diakui demikian. Peningkatan
dan perluasan pelayanan keluarga berencana merupakan salah satu usaha untuk
menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu yang sedemikian tinggi akibat
kehamilan yang dialami oleh wanita. Banyak wanita harus menentukan pilihan
kontrasepsi yang sulit, tidak hanya karena terbatasnya jumlah metode yang
tersedia tetapi juga karena metode-metode tertentu mungkin tidak dapat diterima
sehubungan dengan kebijakan nasional KB, kesehatan individual dan seksualitas
wanita atau biaya untuk memperoleh kontrasepsi (Depkes RI, 1998).
Pelayanan
Keluarga Berencana yang merupakan salah satu didalam paket Pelayanan Kesehatan
Reproduksi Esensial perlu mendapatkan perhatian yang serius, karena dengan mutu
pelayanan Keluarga Berencana berkualitas diharapkan akan dapat meningkatkan
tingkat kesehatan dan kesejahteraan. Dengan telah berubahnya paradigma dalam
pengelolaan masalah kependudukan dan pembangunan dari pendekatan pengendalian
populasi dan penurunan fertilitas menjadi pendekatan yang berfokus pada
kesehatan reproduksi serta hak reproduksi. Maka pelayanan Keluarga Berencana
harus menjadi lebih berkualitas serta memperhatikan hak-hak dari klien / masyarakat dalam
memilih metode kontrasepsi yang diinginkan (Prof. dr. Abdul Bari Saifuddin,
2003).
Sebenarnya
ada cara yang baik dalam pemilihan alat kontrasepsi bagi ibu. Sebelumnya ibu mencari
informasi terlebih dahulu tentang cara-cara KB berdasarkan informasi yang
lengkap, akurat dan benar. Untuk itu dalam memutuskan suatu cara kontrasepsi
sebaiknya mempertimbangkan penggunaan kontrasepsi yang rasional, efektif dan
efisien. KB
merupakan program yang berfungsi bagi pasangan untuk menunda kelahiran anak
pertama (post poning), menjarangkan anak (spacing) atau membatasi (limiting)
jumlah anak yang diinginkan sesuai dengan keamanan medis serta kemungkinan
kembalinya fase kesuburan.
Di
Indonesia khususnya di wilayah Jawa Tengah terutama di desa Pengkol, kecamatan
Tanon dengan jumlah penduduk wanita 1802, orang yang mengalami kehamilan cukup
tinggi pada umur 20 – 30 tahun adalah 70%, 25% umur 31 – 40 tahun, 5% umur 40
tahun keatas.
Pada
tahun 2006 penggunaan KB suntik menurun diperkirakan 10-30%, sehingga
meningkatkan angka kehamilan di desa Pengkol. Penggunaan KB pil menurun
diperkirakan 10-20%. Pada
tahun 1960 angka kematian balita mencapai lebih dari 200 per 1000 orang, dua
kali lebih besar dari angka kematian balita di Filipina atau Thailand. Pada
tahun 2005 angka tersebut turun hingga kurang dari 50 per 1000 orang, yang
merupakan salah satu penurunan tertinggi yang terjadi di kawasan ini. Seorang
anak yang lahir pada tahun 1940 hanya memiliki sekitar 60% kesempatan untuk
mengenyam pendidikan, 40% untuk menamatkan sekolah dasar dan 15% untuk
menamatkan pendidikan di sekolah menengah pertama. Sebaliknya, lebih dari 90%
anak-anak yang lahir sejak tahun 1980 berhasil menamatkan pendidikan sekolah menengah
pertama.
Sebagian
besar kemajuan yang diperoleh semata-mata berkaitan dengan peningkatan
pendapatan. Pendapatan perkapita berlipat ganda antara tahun 1970 sampai dengan
1980 dan berlipat ganda lagi pada akhir tahun 1990 (sebelum terjadi krisis ekonomi
tahun 1997). Salah satu analisis tentang program Keluarga Berencana Indonesia
yang sangat luas menunjukkan bahwa sebagian besar pengurangan fertilitas
berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat dan peningkatan jenjang
pendidikan (Gertler dan Molyneaux).
Ada
beberapa kemungkinan kurang berhasilnya program KB diantaranya dipengaruhi oleh
tingkat pengetahuan ibu dan faktor pendukung lainnya. Untuk mempunyai sikap
yang positif tentang KB diperlukan pengetahuan yang baik, demikian sebaliknya
bila pengetahuan yang baik, demikian sebaliknya bila pengetahuan kurang maka
kepatuhan menjalani program KB berkurang (Notoatmojo, 2003).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar