Senin, 05 Maret 2012

Negara,Ruang Publik dan Pemerintah


Dominasi negara atas masyarakat adalah ciri utama Orde Baru. Pengawasan negara atas masyarakat berjalan secara ekstensif. Campur tangan pemerintah ada di seluruh wilayah kehidupan sehari-hari. Kepala Desa diangkat sebagai klien negara yang mengontrol dan memantau hampir seluruh kegiatan masyarakat. Untuk melamar pekerjaan, seorang warga perlu mandapat rekomendasi dari pejabat militer dan sipil. Hal serupa diperlukan pula untuk menikah, memasuki sekolah, pindahan dan lain-lain.
Birokrasi militer maupun sipil era Orde Baru mengontrol masyarakat dengan berbagai cara. Dominasi dan tekanan negara membuat organisasi otonom dalam masyarakat sulit berkembang. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa ruang publik bagi masyarakat Indonesia untuk mengembangkan diskursur-diskursus yang diperlukan dalam masyarakat demokratis nyaris tidak tersedia, karena yang selalu ada adalah kontrol dan tekanan.
Setelah Orde Baru runtuh, gelombang euforia politik menuntut terbukanya ruang publik dalam kontelasi politik Indonesia. Yang muncul kemudian bukannya ruang publik, tetapi ruang elit, dengan kata lain liberalisasi muncul untuk digunakan sekadar mewadahi syahwat politik kaum elit untuk bertarung di wilayah kekuasaan. Orde Baru memang sudah runtuh, dominasi atas masyarakat sudah runtuh pula, tetapi kebebasan yang ada hanya menjadi ruang pertarungan elit politik untuk meraih dominasi politiknya. Dan masyarakat mayoritas pun tidak mendapat kue kebebasan itu.
Meretas problem hegemoni elit di atas, demokrasi deliberatifnya Habermas, menawarkan “titik-titik sambungan komunikatif” diantara negara, pasar dan masyarakat yang selama ini diblokade oleh kepentingan-kepentingan elit. Kekuatan yang menerobos saluran-saluran komunikasi yang tersumbat itu adalah proses-proses diskursif di dalam apa yang disebutnya “ruang publik politik”.
Apakah sejatinya publik itu? Apakah setiap kerumunan massa dengan sendirinya dapat diidentifikasi sebagai publik? Apakah massa yang diam dapat disebut publik? Apakah publik dilahirkan secara alamiah, ataukah perlu dibangun?
Publik adalah warga negara yang memiliki kesadaran akan dirinya, hak-haknya, kepentingan-kepentingannya. Publik adalah warga negara yang memiliki keberanian menegaskan eksistensi dirinya, memperjuangkan pemenuhan hak-haknya, dan mendesak agar kepentingan-kepentingannya terakomodasi. Sehingga publik bukanlah kategori pasif, melainkan aktif. Publik bukan kerumunan massa yang diam (mass of silent).
Ruang publik adalah tempat bagi publik untuk mengekspresikan kebebasan dan otonomi mereka. Ruang publik bisa berwujud kebebasan pers, bebebasan berpartai, kebebasan berakal sehat, kebebasan berkeyakinan, kebebasan berunjuk rasa, kebebasan membela diri, kebebasan membela komunitas, otonomi daerah, independensi, dan keadilan sistem hukum.
Konsep ruang publik politik dalam filsafat politik Habermas banyak mendapat inspirasi dari konsep tindakan politiknya Hannah Arendt dalam bukunya The Human Condition. Tetapi Habermas mengkritik Arendt bahwa konsep politiknya terlalu sempit. Kekuasaan – seperti kata Arendt – “terjadi di antara manusia-manusia, jika mereka bertindak bersama, dan lenyap jika mereka bubar”. Kekuasaan komunikatif itu terbentuk dalam forum-forum diskusi publik, dalam gerakan-gerakan sosial, dan juga di dalam DPR/MPR saat legislasi hukum. Di samping itu, menurut Habermas, Arendt tidak sensitif terhadap kemungkinan adanya manipulasi komunikasi di antara mereka yang mengaku berjuang demi kedaulatan rakyat dan HAM. Menurut Habermas, kekuasaan komunikatif itu baru terbentuk lewat pengakuan faktual atas klaim-klaim kesahihan yang terbuka terhadap kritik dan dicapai secara diskursif. Dengan kata lain, legitimitas suatu keputusan publik diperoleh lewat pengujian publik dalam proses deliberasi yang menyambungkan aspirasi rakyat dalam ruang publik dan proses legislasi hukum oleh lembaga legislatif dalam sistem politik.
Ruang publik dalam pemikiran Habermas bertujuan untuk membentuk opini dan kehendak (opinion and will formation) yang mengandung kemungkinan generalisasi, yaitu mewakili kepentingan umum. Dalam tradisi teori politik, kepentingan umum selalu bersifat sementara dan mudah dicurigai sebagai bungkus kehendak kelompok elit untuk berkuasa. Generalisasi yang dimaksud Habermas sama sekali bukan dalam arti statistik, melainkan filosofis karena bersandar pada etika diskursus.
Dalam kompleksitas masyarakat dewasa ini, menurut Habermas, dapat menyebut rakyat berdaulat, jika negara, yakni lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif, tersambung secara diskursif dengan proses pembentukan aspirasi dan opini dalam ruang publik. Dalam hal ini teori demokrasi deliberatif tidak menganjurkan sebuah revolusi, melainkan suatu reformasi negara hukum dengan melancarkan gerakan diskursus publik di berbagai bidang sosial-politik-kultural untuk meningkatkan partisipasi demokrasi warganegara. Lewat teori ini, jurang yang selama ini menganga diantara para aktifis LSM, pelaku pers, peneliti, intelektual, gerakan mahasiswa, di satu sisi dan sistem politik (legislatif, eksekutif dan yudikatif) di lain pihak ingin dijembatani lewat kanal-kanal komunikasi politis. Hanya dengan menyambungkan ruang publik dan sistem politik ini, menurut Habermas, masyarakat dapat membendung imperatif-imperatif kapitalisme dan desakan birokrasi negara

http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/07/24/demokrasi-deliberatif-ala-jurgen-habermas/

Indonesia : Negara Hukum dan Demokrasi


Berbagai konflik dan amuk massa yang terus menggejala dari awal reformasi sampai hari ini dengan berbagai motif dan tujuan, dari perspektif Habermas, tidak cukup diatasi dengan solidaritas antar warga bangsa. Integrasi sosial, kata Habermas, tidak dapat dicapai tanpa hukum, tidak pula dengan kekuatan kekuasaan administratif (negara). Dengan adanya hukum, masyarakat memiliki kerangka kelakuan yang dapat diikuti begitu saja tanpa harus terus menerus ber-diskursus. Hukum menyediakan kerangka di mana warga dapat memperjuangkan kepentingannya masing-masing secara sah, dan orang tidak harus, sebagaimana diandaikan dalam negara moral ala Rousseau, selalu bertindak berdasarkan pertimbangan-pertimbangan moral tinggi. Cukup ia berpegang pada hukum dan ia dapat hidup dan berusaha dengan damai. Tertapi hukum di sini adalah hukum yang kokoh dan legitimate.
Kultur dan struktur hukum Indonesia masih lemah, begitu kata banyak kalangan dikala memotret fenomena pelanggaran hukum yang kian semarak di negeri ini, sehingga konstruk hukum Indonesia tidak kokoh dan legitimate. Menurut Hebermas, inilah yang membuat hukum tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Hukum di Indonesia, sebagainana yang telah dibayangkan Habermas, adalah hukum yang sangat ambigu, karena rentan terhadap pengaruh lobby dan rekayasa tingkat tinggi oleh kekuasaan tentunya.
Sistem pemerintahan Indonesia, sebagaimana negara demokrasi lainya, menganut sistem sparation of power atau pembagian kekuasaan antar lembaga tinggi negara, yaitu kekuasan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan sistem demikian dimungkinkan adanya checks and balances antar kekuasan tersebut dan konsentrasi kekuasaan dapat dicegah. Tetapi yang masih sulit dijamin dalam sistem itu adalah sejauh mana interaksi politik antar lembaga tinggi itu terpengaruh oleh arus besar suara rakyat alias apakah rakyat mempunyai akses yang cukup untuk turut meramaikan dinamika diskursus yang sedang digagas oleh ketiga pemegang kekuasaan itu. Apakah bukan yang terjadi adalah mereka yang memegang kekuasaan “hanya” mengurusi kepentingan diri mereka sendiri karena memang jaring-jaring politik yang menghubungkan antara rakyat dengan pusat-pusat kekuasaan belum terbentuk. Inilah problem utama dalam reformasi politik hukum politik hukum Indonesia secara fundamental dan paradigmatik.
Habermas, sebagaimana telah disinggung di muka, menawarkan model demokrasi yang memungkinkan rakyat terlibat dalam proses pembuatan hukum dan kebijakan-kebijakan politik. Itulah demokrasi deliberatif yang menjamin masyarakat sipil terlibat penuh dalam pembuatan hukum melalui diskursus-diskursus. Tetapi bukan seperti dalam republik moral Rousseau di mana rakyat langsung menjadi legislator, maka dalam demokrasi deliberatif yang menentukan adalah prosedur atau cara hukum dibentuk. Dalam demokrasi deliberatif, kebijakan atau hukum yang akan dibentuk dipengaruhi oleh diskursus-diskursus yang terus-menerus (baca : mengalir) di dalam masyarakat. Di samping kekuatan Negara dan kekuatan kapital terbentuk kekuasaan komunikatif melalui jaringan-jaringan komunikasi publik masyarakat sipil. Kekuasaan komunikatif masyarakat sipil dimainkan melalui media, pers, LSM, Organisasi massa dan lembaga-lembaga lain yang seolah-olah dalam posisi mengepung sistem politik, sehingga negara dan perangkat kekuasaannya terpaksa responsif terhadap diskursus-diskursus masyarakat sipil. Sebaliknya masyarakat sipil bisa mengembangkan kekuasaan komunikatifnya karena dalam negara hukum demokratis kebebasannya untuk menyatakan pendapat terlindungi. Kekuasaan komunikatif masyarakat sipil tidak menguasai sistem politik, namun dapat mempengaruhi keputusan-keputusannya.
Adalah sangat berbahaya jika negara (kekuasaan legislatif) dalam merumuskan hukum dan kebijakan-kebijakan politik penting lainnya bersikap otoritarian dan eksklusif. Affan Ghaffar telah membuat perbandingan antara dua model pembentukan agenda (agenda setting) dalam proses pembuatan undang-undang, yaitu model autoritarian dan demokratis (demokrasi deliberatif?). Model pertama, yang terlibat dalam pembangunan hukum adalah para elit utama plus pimpinan partai politik dan sejumlah tokoh militer (dalam beberapa kasus plus pengusaha kaya). Oleh karena itu, orientasi hukumnya tentu saja bersifat elitis dan cenderung membela kepentingan mereka sendiri. Di samping itu karakteristik lain yang menonjol adalah bersifat conservative, mempertahankan status quo. Sebaliknya, model kedua mensyaratkan keterlibatan masyarakat yang sangat tinggi karena diakuinya pluralisme politik di mana kelompok-kelompok di dalam masyarakat baik yang tergabung di dalam partai politik ataupun tidak (pressure groups, interest groups, media, dan lain-lain), termasuk juga LSM. Oleh karena itu produk hukumnya adalah bersifat populis dan progressive.
Persoalannya adalah bagaimana menjamin penguasa selalu tanggap alias responsif terhadap kehendak rakyat. Dalam hal ini Robert Dahl dalam bukunya Polyarchy : Partisipation and Oppposition, memberi ulasannya tentang apa yang harus dijamin oleh penguasa/pemerintah agar rakyat diberi kesempatan untuk : pertama, merumuskan preferensi atau kepentingannya sendiri; Kedua, memberitahukan perihal preferensinya itu kepada sesama warga negara dan kepada pemerintah melalui tindakan individual maupun kolektif; dan ketiga, mengusahakan agar kepentingannya itu dipertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak didiskriminasikan berdasarkan isi atau asal-usulnya.
Selanjutnya, kesempatan itu hanya mungkin tersedia kalau lembaga-lembaga dalam masyarakat bisa menjamin adanya delapan kondisi, yaitu ; pertama, kebebasan untuk membentuk dan bergabung dalam organisasi; kedua, kebebasan mengungkapkan pendapat; ketiga, hal untuk memilih dalam pemilihan umum; keempat, hak untuk menduduki jabatan publik; kelima, hak para pemimpin untuk bersaing memperoleh dukungan suara; keenam, tersedianya sumber-sumber informasi; ketujuh, terselenggaranya pemilihan umum yang bebas dan jujur; dan kedelapan adanya lembaga-lembaga yang menjamin agar kebijaksanaan publik tergantung pada suara pada pemilihan umum dan pada cara-cara penyampaian prefrensi yang lain.
Maka sumbangan Habermas dalam pembangunan sistem politik dan pemerintahan Indonesia pasca-Orde Baru menemukan titik signifikansinya, khususnya dalam upaya melakukan reformasi hukum yang sangat penting untuk mengokohkan pilar-pilar demokrasi di negeri ini. Untuk selanjutnya akan dibahas bagaimana mengontrol kekuasaan melalui pembentukan ruang publik (public sphere), sehingga masyarakat bisa melakukan tindakan-tindakan diskursif dalam posisinya sebagai oposisi atas kekuasaan yang ada.

Deliberatif, Sebuah Solusi Politik Di Indonesia

Suasana politik yang penuh ketidakpastian ini perlu mendapat jalan keluar yang satu sisi tidak mengembalikan kepada situasi anti-demokrasi sebagaimana diperagakan oleh rezim Orde Baru, tetapi pada sisi lain ledakan partisipasi rakyat mendapat saluran demokrasi secara sistemik. Berbagai perubahan radikal memang telah dilakukan oleh bangsa ini pasca-Orde Baru. Kehidupan demokrasi diwujudkan dalam bentuk kebebasan mendirikan partai politik, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, bahkan sekarang sedang berlangsung pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung pula. Tetapi di tengah semerbaknya aroma demokrasi, muncul pertanyaan-pertanyan kritis : Apakah pertasipasi rakyat telah betul-betul mewujud dalam konfigurasi politik real Indonesia? Atuakah partisipasi itu hanya menjadi komoditas politik paling laris dikalangan elit politik? Apakah memang betul-betul telah terbentuk ruang publik (public sphere) untuk membentuk diskursus bersama? Ataukah yang terjadi adalah demokrasi semu (psudeo-democracy) karena pada hakekatnya yang menentukan kebijakan dalam negeri ini melulu para elite? Lantas peran rakyat di mana?
Itulah sekian pertanyaan kritis yang mendorong tulisan sederhana ini disajikan. Dengan menggunakan perspektif demokrasi deliberatif milik Jǖrgen Habermas seorang ilmuwan sosial kritis madzab Frankfurt. Dalam demokrasi deliberatif, kebijakan-kebijakan penting (perundang-undangan) dipengaruhi oleh diskursus-diskursus “liar” yang terjadi dalam masyarakat Di samping kekuasaan administratif (negara) dan kekuasaan ekonomis (kapital) terbentuk suatu kekuasaan komunikatif melalui jaring-jaring komunikasi publik masyarakat sipil. Ini yang menjadi inti demokrasi deliberatif yang sedang penulis ujicoba untuk dapat diterapkan dalam sistem politik atau pemerintahan Indonesia pasca-Orde Baru.
Jǖrgen Habermas dan Demokrasi Deliberatif
Jǖrgen Habermas lahir pada tanggal 18 Juni 1229 di propinsi Rheinland-Westfalen Jerman Barat, dan menjadi besar di Gummersbach, sebuah kota menengah. Kontras antara suasana keluarga yang borjois-Protestan dengan lingkungan masyarakat yang Katolik membuah Habermas peka terhadap ketegangan-ketegangan dalam masyarakat.
Habermas bertolak dari teori kritis masyarakat Marx Horkheimer dan Theodor W. Adorno, ia mau “mengembangkan gagasan sebuah teori masyarakat yang dicetuskan dengan maksud praktis”. Walau pada akhirnya ia menolak beberapa aspek dari teori mereka khususnya tentang pesimisme budaya Horkheimer dan Adorno.
Yang khas dari Habermas adalah ia mengembangkan pemikirannya dalam diskursus yang terus menerus dengan pemikir-pemikir lain : Karl Marx, Max weber, Emile Durkheim, Goerge-Herbert Mead, Georg Lukacs, Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno. Yang berseberangan dengan Habermas : Karl Popper, Niklas Luhman, Herbert Marcuse, Sigmund Frued, Gadamer, John L. Agustin, Talcott Parson dan Hannah Arendt. Semuanya telah membantu Habermas dalam menjernihkan apa yang dicarinya. Dan ada satu lagi yang sangat berpengarh dalam pemikiran Habermas, yaitu Immanuel Kant, karena pada hakekatnya ia adalah Kantian par exellence.
Salah satu karya Habermas yang banyak mengupas tentang demokrasi deliberatif adalah Faktizitas und Geltung, yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris : Between Facts and Norms : Contribution to a Discourse Theory of Law and Democracy. Buku telah menjadi bukti komitmen Habermas terhadap negara hukum demokratis. Faktizitas und Geltung lahir dari asumsi Habermas bahwa “negara hukum tidak dapat diperoleh maupun dipertahankan tanpa demokrasi radikal”. Dalam demokrasi deliberatif, negara tidak lagi menentukan hukum dan kebijakan-kebijakan politik lainnya dalam ruang tertutup yang nyaman (splendid isolation), tetapi masyarakat sipil melalui media dan organisasi yang vokal memainkan pengaruh yang sangat signifikan dalam proses pembentukan hukum dan kebijakan politik itu. Medan publik menjadi arena di mana perundangan dipersiapkan dan diarahkan secara diskursif.
Kata “deliberasi” berasal dari kata Latin deliberatio yang artinya “konsultasi”, “menimbang-nimbang”, atau “musyawarah”. Demokrasi bersifat deliberatif, jika proses pemberian alasan atas sesuatu kandidat kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi publik atau lewat – dalam kosa kata teoritis Habermas – “diskursus publik”.
Tentu saja demokrasi deliberatifnya Habermas adalah hasil ketegangan kreatif (creative tention) yang panjang dalam sejarah pemikiran tentang hukum, negara dan demokrasi. Paling tidak ada dua tradisi kenegaraan modern yang menjadi representasi dari creative tention ini yaitu tradisi liberal yang bermula dari John Locke dan tradisi republiken yang meneruskan paham kenegaraan Rousseau. Tradisi liberal memandang hukum dan negara secara utilitaristik sebagai lembaga-lembaga yang perlu untuk menjamin kebebasan-kebebasan warga masyarakat. Negara bukan tujuan pada dirinya sendiri, melainkan lembaga yang menciptakan kondisi keamanan yang diperlukan agar warga masyarakat dapat hidup dan berusaha dengan bebas. Sebaliknya Rousseau memandang hukum sebagai ekspresi kehendak umum, kehendak suci rakyat. Mengabdikan diri pada negara adalah tugas suci. Republikanisme menegaskan bahwa negara tidak dapat mantab kalau hanya dianggap sebagai sarana pelayanan kebebasan individual. Negara berhak menuntut komitmen dan pengorbanan dari warga negara.