Dominasi negara atas masyarakat adalah
ciri utama Orde Baru. Pengawasan negara atas masyarakat berjalan secara
ekstensif. Campur tangan pemerintah ada di seluruh wilayah kehidupan
sehari-hari. Kepala Desa diangkat sebagai klien negara yang mengontrol dan
memantau hampir seluruh kegiatan masyarakat. Untuk
melamar pekerjaan, seorang warga perlu mandapat rekomendasi dari pejabat
militer dan sipil. Hal serupa diperlukan pula untuk menikah, memasuki sekolah,
pindahan dan lain-lain.
Birokrasi militer maupun sipil era Orde
Baru mengontrol masyarakat dengan berbagai cara. Dominasi dan tekanan negara
membuat organisasi otonom dalam masyarakat sulit berkembang. Secara ringkas
dapat dikatakan bahwa ruang publik bagi masyarakat Indonesia untuk mengembangkan
diskursur-diskursus yang diperlukan dalam masyarakat demokratis nyaris tidak
tersedia, karena yang selalu ada adalah kontrol dan tekanan.
Setelah Orde Baru runtuh, gelombang euforia politik
menuntut terbukanya ruang publik dalam kontelasi politik Indonesia. Yang
muncul kemudian bukannya ruang publik, tetapi ruang elit, dengan kata lain
liberalisasi muncul untuk digunakan sekadar mewadahi syahwat politik kaum elit
untuk bertarung di wilayah kekuasaan. Orde Baru memang sudah runtuh, dominasi
atas masyarakat sudah runtuh pula, tetapi kebebasan yang ada hanya menjadi
ruang pertarungan elit politik untuk meraih dominasi politiknya. Dan masyarakat
mayoritas pun tidak mendapat kue kebebasan itu.
Meretas problem hegemoni elit di atas,
demokrasi deliberatifnya Habermas, menawarkan “titik-titik sambungan
komunikatif” diantara negara, pasar dan masyarakat yang selama ini diblokade
oleh kepentingan-kepentingan elit. Kekuatan yang menerobos saluran-saluran
komunikasi yang tersumbat itu adalah proses-proses diskursif di dalam apa yang
disebutnya “ruang publik politik”.
Apakah sejatinya publik itu? Apakah setiap
kerumunan massa
dengan sendirinya dapat diidentifikasi sebagai publik? Apakah massa yang diam dapat disebut publik? Apakah
publik dilahirkan secara alamiah, ataukah perlu dibangun?
Publik adalah warga negara yang memiliki
kesadaran akan dirinya, hak-haknya, kepentingan-kepentingannya. Publik adalah
warga negara yang memiliki keberanian menegaskan eksistensi dirinya, memperjuangkan
pemenuhan hak-haknya, dan mendesak agar kepentingan-kepentingannya
terakomodasi. Sehingga publik bukanlah kategori pasif, melainkan aktif. Publik
bukan kerumunan massa
yang diam (mass of silent).
Ruang publik adalah tempat bagi publik
untuk mengekspresikan kebebasan dan otonomi mereka. Ruang publik bisa berwujud
kebebasan pers, bebebasan berpartai, kebebasan berakal sehat, kebebasan
berkeyakinan, kebebasan berunjuk rasa, kebebasan membela diri, kebebasan
membela komunitas, otonomi daerah, independensi, dan keadilan sistem hukum.
Konsep ruang publik politik dalam filsafat
politik Habermas banyak mendapat inspirasi dari konsep tindakan politiknya
Hannah Arendt dalam bukunya The Human Condition. Tetapi Habermas
mengkritik Arendt bahwa konsep politiknya terlalu sempit. Kekuasaan – seperti
kata Arendt – “terjadi di antara manusia-manusia, jika mereka bertindak
bersama, dan lenyap jika mereka bubar”. Kekuasaan
komunikatif itu terbentuk dalam forum-forum diskusi publik, dalam
gerakan-gerakan sosial, dan juga di dalam DPR/MPR saat legislasi hukum. Di
samping itu, menurut Habermas, Arendt tidak sensitif terhadap kemungkinan
adanya manipulasi komunikasi di antara mereka yang mengaku berjuang demi
kedaulatan rakyat dan HAM. Menurut Habermas, kekuasaan komunikatif itu baru
terbentuk lewat pengakuan faktual atas klaim-klaim kesahihan yang terbuka
terhadap kritik dan dicapai secara diskursif. Dengan kata lain, legitimitas
suatu keputusan publik diperoleh lewat pengujian publik dalam proses deliberasi
yang menyambungkan aspirasi rakyat dalam ruang publik dan proses legislasi
hukum oleh lembaga legislatif dalam sistem politik.
Ruang publik dalam pemikiran Habermas
bertujuan untuk membentuk opini dan kehendak (opinion and will formation)
yang mengandung kemungkinan generalisasi, yaitu mewakili kepentingan umum. Dalam
tradisi teori politik, kepentingan umum selalu bersifat sementara dan mudah
dicurigai sebagai bungkus kehendak kelompok elit untuk berkuasa. Generalisasi
yang dimaksud Habermas sama sekali bukan dalam arti statistik, melainkan
filosofis karena bersandar pada etika diskursus.
Dalam kompleksitas masyarakat dewasa ini, menurut
Habermas, dapat menyebut rakyat berdaulat, jika negara, yakni lembaga-lembaga
legislatif, eksekutif dan yudikatif, tersambung secara diskursif dengan proses
pembentukan aspirasi dan opini dalam ruang publik. Dalam hal ini teori
demokrasi deliberatif tidak menganjurkan sebuah revolusi, melainkan suatu
reformasi negara hukum dengan melancarkan gerakan diskursus publik di berbagai
bidang sosial-politik-kultural untuk meningkatkan partisipasi demokrasi
warganegara. Lewat teori ini, jurang yang selama ini menganga diantara para
aktifis LSM, pelaku pers, peneliti, intelektual, gerakan mahasiswa, di satu
sisi dan sistem politik (legislatif, eksekutif dan yudikatif) di lain pihak
ingin dijembatani lewat kanal-kanal komunikasi politis. Hanya dengan menyambungkan
ruang publik dan sistem politik ini, menurut Habermas, masyarakat dapat
membendung imperatif-imperatif kapitalisme dan desakan birokrasi negara