Senin, 05 Maret 2012

Deliberatif, Sebuah Solusi Politik Di Indonesia

Suasana politik yang penuh ketidakpastian ini perlu mendapat jalan keluar yang satu sisi tidak mengembalikan kepada situasi anti-demokrasi sebagaimana diperagakan oleh rezim Orde Baru, tetapi pada sisi lain ledakan partisipasi rakyat mendapat saluran demokrasi secara sistemik. Berbagai perubahan radikal memang telah dilakukan oleh bangsa ini pasca-Orde Baru. Kehidupan demokrasi diwujudkan dalam bentuk kebebasan mendirikan partai politik, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, bahkan sekarang sedang berlangsung pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung pula. Tetapi di tengah semerbaknya aroma demokrasi, muncul pertanyaan-pertanyan kritis : Apakah pertasipasi rakyat telah betul-betul mewujud dalam konfigurasi politik real Indonesia? Atuakah partisipasi itu hanya menjadi komoditas politik paling laris dikalangan elit politik? Apakah memang betul-betul telah terbentuk ruang publik (public sphere) untuk membentuk diskursus bersama? Ataukah yang terjadi adalah demokrasi semu (psudeo-democracy) karena pada hakekatnya yang menentukan kebijakan dalam negeri ini melulu para elite? Lantas peran rakyat di mana?
Itulah sekian pertanyaan kritis yang mendorong tulisan sederhana ini disajikan. Dengan menggunakan perspektif demokrasi deliberatif milik Jǖrgen Habermas seorang ilmuwan sosial kritis madzab Frankfurt. Dalam demokrasi deliberatif, kebijakan-kebijakan penting (perundang-undangan) dipengaruhi oleh diskursus-diskursus “liar” yang terjadi dalam masyarakat Di samping kekuasaan administratif (negara) dan kekuasaan ekonomis (kapital) terbentuk suatu kekuasaan komunikatif melalui jaring-jaring komunikasi publik masyarakat sipil. Ini yang menjadi inti demokrasi deliberatif yang sedang penulis ujicoba untuk dapat diterapkan dalam sistem politik atau pemerintahan Indonesia pasca-Orde Baru.
Jǖrgen Habermas dan Demokrasi Deliberatif
Jǖrgen Habermas lahir pada tanggal 18 Juni 1229 di propinsi Rheinland-Westfalen Jerman Barat, dan menjadi besar di Gummersbach, sebuah kota menengah. Kontras antara suasana keluarga yang borjois-Protestan dengan lingkungan masyarakat yang Katolik membuah Habermas peka terhadap ketegangan-ketegangan dalam masyarakat.
Habermas bertolak dari teori kritis masyarakat Marx Horkheimer dan Theodor W. Adorno, ia mau “mengembangkan gagasan sebuah teori masyarakat yang dicetuskan dengan maksud praktis”. Walau pada akhirnya ia menolak beberapa aspek dari teori mereka khususnya tentang pesimisme budaya Horkheimer dan Adorno.
Yang khas dari Habermas adalah ia mengembangkan pemikirannya dalam diskursus yang terus menerus dengan pemikir-pemikir lain : Karl Marx, Max weber, Emile Durkheim, Goerge-Herbert Mead, Georg Lukacs, Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno. Yang berseberangan dengan Habermas : Karl Popper, Niklas Luhman, Herbert Marcuse, Sigmund Frued, Gadamer, John L. Agustin, Talcott Parson dan Hannah Arendt. Semuanya telah membantu Habermas dalam menjernihkan apa yang dicarinya. Dan ada satu lagi yang sangat berpengarh dalam pemikiran Habermas, yaitu Immanuel Kant, karena pada hakekatnya ia adalah Kantian par exellence.
Salah satu karya Habermas yang banyak mengupas tentang demokrasi deliberatif adalah Faktizitas und Geltung, yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris : Between Facts and Norms : Contribution to a Discourse Theory of Law and Democracy. Buku telah menjadi bukti komitmen Habermas terhadap negara hukum demokratis. Faktizitas und Geltung lahir dari asumsi Habermas bahwa “negara hukum tidak dapat diperoleh maupun dipertahankan tanpa demokrasi radikal”. Dalam demokrasi deliberatif, negara tidak lagi menentukan hukum dan kebijakan-kebijakan politik lainnya dalam ruang tertutup yang nyaman (splendid isolation), tetapi masyarakat sipil melalui media dan organisasi yang vokal memainkan pengaruh yang sangat signifikan dalam proses pembentukan hukum dan kebijakan politik itu. Medan publik menjadi arena di mana perundangan dipersiapkan dan diarahkan secara diskursif.
Kata “deliberasi” berasal dari kata Latin deliberatio yang artinya “konsultasi”, “menimbang-nimbang”, atau “musyawarah”. Demokrasi bersifat deliberatif, jika proses pemberian alasan atas sesuatu kandidat kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi publik atau lewat – dalam kosa kata teoritis Habermas – “diskursus publik”.
Tentu saja demokrasi deliberatifnya Habermas adalah hasil ketegangan kreatif (creative tention) yang panjang dalam sejarah pemikiran tentang hukum, negara dan demokrasi. Paling tidak ada dua tradisi kenegaraan modern yang menjadi representasi dari creative tention ini yaitu tradisi liberal yang bermula dari John Locke dan tradisi republiken yang meneruskan paham kenegaraan Rousseau. Tradisi liberal memandang hukum dan negara secara utilitaristik sebagai lembaga-lembaga yang perlu untuk menjamin kebebasan-kebebasan warga masyarakat. Negara bukan tujuan pada dirinya sendiri, melainkan lembaga yang menciptakan kondisi keamanan yang diperlukan agar warga masyarakat dapat hidup dan berusaha dengan bebas. Sebaliknya Rousseau memandang hukum sebagai ekspresi kehendak umum, kehendak suci rakyat. Mengabdikan diri pada negara adalah tugas suci. Republikanisme menegaskan bahwa negara tidak dapat mantab kalau hanya dianggap sebagai sarana pelayanan kebebasan individual. Negara berhak menuntut komitmen dan pengorbanan dari warga negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar