Suasana politik yang penuh ketidakpastian
ini perlu mendapat jalan keluar yang satu sisi tidak mengembalikan kepada
situasi anti-demokrasi sebagaimana diperagakan oleh rezim Orde Baru, tetapi
pada sisi lain ledakan partisipasi rakyat mendapat saluran demokrasi secara
sistemik. Berbagai perubahan radikal memang telah dilakukan oleh bangsa ini
pasca-Orde Baru. Kehidupan demokrasi diwujudkan dalam bentuk kebebasan mendirikan
partai politik, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, bahkan
sekarang sedang berlangsung pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung
pula. Tetapi di tengah semerbaknya aroma demokrasi, muncul pertanyaan-pertanyan
kritis : Apakah pertasipasi rakyat telah betul-betul mewujud dalam konfigurasi
politik real Indonesia?
Atuakah partisipasi itu hanya menjadi komoditas politik paling laris dikalangan
elit politik? Apakah memang betul-betul telah terbentuk ruang publik (public
sphere) untuk membentuk diskursus bersama? Ataukah yang terjadi adalah
demokrasi semu (psudeo-democracy) karena pada hakekatnya yang
menentukan kebijakan dalam negeri ini melulu para elite? Lantas peran rakyat di
mana?
Itulah sekian pertanyaan kritis yang
mendorong tulisan sederhana ini disajikan. Dengan menggunakan perspektif
demokrasi deliberatif milik Jǖrgen Habermas seorang ilmuwan sosial kritis
madzab Frankfurt. Dalam demokrasi deliberatif,
kebijakan-kebijakan penting (perundang-undangan) dipengaruhi oleh diskursus-diskursus
“liar” yang terjadi dalam masyarakat Di samping kekuasaan administratif
(negara) dan kekuasaan ekonomis (kapital) terbentuk suatu kekuasaan komunikatif
melalui jaring-jaring komunikasi publik masyarakat sipil. Ini yang
menjadi inti demokrasi deliberatif yang sedang penulis ujicoba untuk dapat
diterapkan dalam sistem politik atau pemerintahan Indonesia pasca-Orde Baru.
Jǖrgen Habermas dan Demokrasi DeliberatifJǖrgen Habermas lahir pada tanggal 18 Juni 1229 di propinsi Rheinland-Westfalen Jerman Barat, dan menjadi besar di Gummersbach, sebuah kota menengah. Kontras antara suasana keluarga yang borjois-Protestan dengan lingkungan masyarakat yang Katolik membuah Habermas peka terhadap ketegangan-ketegangan dalam masyarakat.
Habermas bertolak dari teori kritis
masyarakat Marx Horkheimer dan Theodor W. Adorno, ia mau “mengembangkan gagasan
sebuah teori masyarakat yang dicetuskan dengan maksud praktis”. Walau pada
akhirnya ia menolak beberapa aspek dari teori mereka khususnya tentang
pesimisme budaya Horkheimer dan Adorno.
Yang khas dari Habermas adalah ia
mengembangkan pemikirannya dalam diskursus yang terus menerus dengan
pemikir-pemikir lain : Karl Marx, Max weber, Emile Durkheim, Goerge-Herbert
Mead, Georg Lukacs, Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno. Yang berseberangan
dengan Habermas : Karl Popper, Niklas Luhman, Herbert Marcuse, Sigmund Frued,
Gadamer, John L. Agustin, Talcott Parson dan Hannah Arendt. Semuanya telah
membantu Habermas dalam menjernihkan apa yang dicarinya. Dan ada satu lagi yang
sangat berpengarh dalam pemikiran Habermas, yaitu Immanuel Kant, karena pada
hakekatnya ia adalah Kantian par exellence.
Salah satu karya Habermas yang banyak
mengupas tentang demokrasi deliberatif adalah Faktizitas und Geltung,
yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris : Between Facts and Norms :
Contribution to a Discourse Theory of Law and Democracy. Buku telah
menjadi bukti komitmen Habermas terhadap negara hukum demokratis. Faktizitas
und Geltung lahir dari asumsi Habermas bahwa “negara hukum tidak dapat
diperoleh maupun dipertahankan tanpa demokrasi radikal”. Dalam
demokrasi deliberatif, negara tidak lagi menentukan hukum dan
kebijakan-kebijakan politik lainnya dalam ruang tertutup yang nyaman (splendid
isolation), tetapi masyarakat sipil melalui media dan organisasi yang
vokal memainkan pengaruh yang sangat signifikan dalam proses pembentukan hukum
dan kebijakan politik itu. Medan
publik menjadi arena di mana perundangan dipersiapkan dan diarahkan secara
diskursif.
Kata “deliberasi” berasal dari kata Latin deliberatio
yang artinya “konsultasi”, “menimbang-nimbang”, atau “musyawarah”. Demokrasi
bersifat deliberatif, jika proses pemberian alasan atas sesuatu kandidat
kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi publik atau lewat – dalam
kosa kata teoritis Habermas – “diskursus publik”.
Tentu saja demokrasi deliberatifnya
Habermas adalah hasil ketegangan kreatif (creative tention) yang
panjang dalam sejarah pemikiran tentang hukum, negara dan demokrasi. Paling
tidak ada dua tradisi kenegaraan modern yang menjadi representasi dari creative
tention ini yaitu tradisi liberal yang bermula dari John Locke dan tradisi
republiken yang meneruskan paham kenegaraan Rousseau. Tradisi
liberal memandang hukum dan negara secara utilitaristik sebagai lembaga-lembaga
yang perlu untuk menjamin kebebasan-kebebasan warga masyarakat. Negara bukan
tujuan pada dirinya sendiri, melainkan lembaga yang menciptakan kondisi
keamanan yang diperlukan agar warga masyarakat dapat hidup dan berusaha dengan
bebas. Sebaliknya
Rousseau memandang hukum sebagai ekspresi kehendak umum, kehendak suci rakyat.
Mengabdikan diri pada negara adalah tugas suci. Republikanisme menegaskan bahwa
negara tidak dapat mantab kalau hanya dianggap sebagai sarana pelayanan
kebebasan individual. Negara berhak menuntut komitmen dan pengorbanan dari
warga negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar