Berbagai konflik dan amuk massa yang terus menggejala dari awal
reformasi sampai hari ini dengan berbagai motif dan tujuan, dari perspektif
Habermas, tidak cukup diatasi dengan solidaritas antar warga bangsa. Integrasi
sosial, kata Habermas, tidak dapat dicapai tanpa hukum, tidak pula
dengan kekuatan kekuasaan administratif (negara). Dengan adanya hukum,
masyarakat memiliki kerangka kelakuan yang dapat diikuti begitu saja tanpa
harus terus menerus ber-diskursus. Hukum menyediakan kerangka di mana warga
dapat memperjuangkan kepentingannya masing-masing secara sah, dan orang tidak
harus, sebagaimana diandaikan dalam negara moral ala Rousseau, selalu bertindak
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan moral tinggi. Cukup ia berpegang pada
hukum dan ia dapat hidup dan berusaha dengan damai. Tertapi hukum di sini
adalah hukum yang kokoh dan legitimate.
Kultur dan struktur hukum Indonesia masih lemah, begitu kata banyak
kalangan dikala memotret fenomena pelanggaran hukum yang kian semarak di negeri
ini, sehingga konstruk hukum Indonesia
tidak kokoh dan legitimate. Menurut Hebermas, inilah yang membuat
hukum tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Hukum di Indonesia, sebagainana
yang telah dibayangkan Habermas, adalah hukum yang sangat ambigu, karena rentan
terhadap pengaruh lobby dan rekayasa tingkat tinggi oleh kekuasaan tentunya.
Sistem pemerintahan Indonesia,
sebagaimana negara demokrasi lainya, menganut sistem sparation of power
atau pembagian kekuasaan antar lembaga tinggi negara, yaitu kekuasan
legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan sistem demikian dimungkinkan adanya
checks and balances antar kekuasan tersebut dan konsentrasi kekuasaan
dapat dicegah. Tetapi yang masih sulit dijamin dalam sistem itu adalah sejauh
mana interaksi politik antar lembaga tinggi itu terpengaruh oleh arus besar
suara rakyat alias apakah rakyat mempunyai akses yang cukup untuk turut
meramaikan dinamika diskursus yang sedang digagas oleh ketiga pemegang
kekuasaan itu. Apakah bukan yang terjadi adalah mereka yang memegang kekuasaan
“hanya” mengurusi kepentingan diri mereka sendiri karena memang jaring-jaring
politik yang menghubungkan antara rakyat dengan pusat-pusat kekuasaan belum
terbentuk. Inilah problem utama dalam reformasi politik hukum politik hukum Indonesia
secara fundamental dan paradigmatik.
Habermas, sebagaimana telah disinggung di
muka, menawarkan model demokrasi yang memungkinkan rakyat terlibat dalam proses
pembuatan hukum dan kebijakan-kebijakan politik. Itulah demokrasi deliberatif
yang menjamin masyarakat sipil terlibat penuh dalam pembuatan hukum melalui
diskursus-diskursus. Tetapi bukan seperti dalam republik moral Rousseau di mana
rakyat langsung menjadi legislator, maka dalam demokrasi deliberatif yang
menentukan adalah prosedur atau cara hukum dibentuk. Dalam
demokrasi deliberatif, kebijakan atau hukum yang akan dibentuk dipengaruhi oleh
diskursus-diskursus yang terus-menerus (baca : mengalir) di dalam masyarakat.
Di samping kekuatan Negara dan kekuatan kapital terbentuk kekuasaan komunikatif
melalui jaringan-jaringan komunikasi publik masyarakat sipil. Kekuasaan
komunikatif masyarakat sipil dimainkan melalui media, pers, LSM, Organisasi massa dan lembaga-lembaga
lain yang seolah-olah dalam posisi mengepung sistem politik, sehingga negara
dan perangkat kekuasaannya terpaksa responsif terhadap diskursus-diskursus
masyarakat sipil. Sebaliknya
masyarakat sipil bisa mengembangkan kekuasaan komunikatifnya karena dalam
negara hukum demokratis kebebasannya untuk menyatakan pendapat terlindungi.
Kekuasaan komunikatif masyarakat sipil tidak menguasai sistem politik, namun
dapat mempengaruhi keputusan-keputusannya.
Adalah sangat berbahaya jika negara
(kekuasaan legislatif) dalam merumuskan hukum dan kebijakan-kebijakan politik
penting lainnya bersikap otoritarian dan eksklusif. Affan Ghaffar telah membuat
perbandingan antara dua model pembentukan agenda (agenda setting)
dalam proses pembuatan undang-undang, yaitu model autoritarian dan demokratis
(demokrasi deliberatif?). Model
pertama, yang terlibat dalam pembangunan hukum adalah para elit utama plus
pimpinan partai politik dan sejumlah tokoh militer (dalam beberapa kasus plus
pengusaha kaya). Oleh karena itu, orientasi hukumnya tentu saja bersifat elitis
dan cenderung membela kepentingan mereka sendiri. Di samping itu karakteristik lain
yang menonjol adalah bersifat conservative, mempertahankan status quo.
Sebaliknya, model kedua mensyaratkan keterlibatan masyarakat yang sangat tinggi
karena diakuinya pluralisme politik di mana kelompok-kelompok di dalam
masyarakat baik yang tergabung di dalam partai politik ataupun tidak (pressure
groups, interest groups, media, dan lain-lain), termasuk juga LSM. Oleh
karena itu produk hukumnya adalah bersifat populis dan progressive.
Persoalannya adalah bagaimana menjamin
penguasa selalu tanggap alias responsif terhadap kehendak rakyat. Dalam hal ini
Robert Dahl dalam bukunya Polyarchy : Partisipation and Oppposition,
memberi ulasannya tentang apa yang harus dijamin oleh penguasa/pemerintah agar
rakyat diberi kesempatan untuk : pertama, merumuskan preferensi atau
kepentingannya sendiri; Kedua, memberitahukan perihal preferensinya
itu kepada sesama warga negara dan kepada pemerintah melalui tindakan
individual maupun kolektif; dan ketiga, mengusahakan agar
kepentingannya itu dipertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan
keputusan pemerintah, artinya tidak didiskriminasikan berdasarkan isi atau
asal-usulnya.
Selanjutnya, kesempatan itu hanya mungkin
tersedia kalau lembaga-lembaga dalam masyarakat bisa menjamin adanya delapan
kondisi, yaitu ; pertama, kebebasan untuk membentuk dan bergabung
dalam organisasi; kedua, kebebasan mengungkapkan pendapat; ketiga,
hal untuk memilih dalam pemilihan umum; keempat, hak untuk menduduki
jabatan publik; kelima, hak para pemimpin untuk bersaing memperoleh
dukungan suara; keenam, tersedianya sumber-sumber informasi; ketujuh,
terselenggaranya pemilihan umum yang bebas dan jujur; dan kedelapan
adanya lembaga-lembaga yang menjamin agar kebijaksanaan publik tergantung pada
suara pada pemilihan umum dan pada cara-cara penyampaian prefrensi yang lain.
Maka sumbangan Habermas dalam pembangunan
sistem politik dan pemerintahan Indonesia
pasca-Orde Baru menemukan titik signifikansinya, khususnya dalam upaya
melakukan reformasi hukum yang sangat penting untuk mengokohkan pilar-pilar
demokrasi di negeri ini. Untuk selanjutnya akan dibahas bagaimana mengontrol
kekuasaan melalui pembentukan ruang publik (public sphere), sehingga
masyarakat bisa melakukan tindakan-tindakan diskursif dalam posisinya sebagai
oposisi atas kekuasaan yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar