Senin, 05 Maret 2012

Indonesia : Negara Hukum dan Demokrasi


Berbagai konflik dan amuk massa yang terus menggejala dari awal reformasi sampai hari ini dengan berbagai motif dan tujuan, dari perspektif Habermas, tidak cukup diatasi dengan solidaritas antar warga bangsa. Integrasi sosial, kata Habermas, tidak dapat dicapai tanpa hukum, tidak pula dengan kekuatan kekuasaan administratif (negara). Dengan adanya hukum, masyarakat memiliki kerangka kelakuan yang dapat diikuti begitu saja tanpa harus terus menerus ber-diskursus. Hukum menyediakan kerangka di mana warga dapat memperjuangkan kepentingannya masing-masing secara sah, dan orang tidak harus, sebagaimana diandaikan dalam negara moral ala Rousseau, selalu bertindak berdasarkan pertimbangan-pertimbangan moral tinggi. Cukup ia berpegang pada hukum dan ia dapat hidup dan berusaha dengan damai. Tertapi hukum di sini adalah hukum yang kokoh dan legitimate.
Kultur dan struktur hukum Indonesia masih lemah, begitu kata banyak kalangan dikala memotret fenomena pelanggaran hukum yang kian semarak di negeri ini, sehingga konstruk hukum Indonesia tidak kokoh dan legitimate. Menurut Hebermas, inilah yang membuat hukum tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Hukum di Indonesia, sebagainana yang telah dibayangkan Habermas, adalah hukum yang sangat ambigu, karena rentan terhadap pengaruh lobby dan rekayasa tingkat tinggi oleh kekuasaan tentunya.
Sistem pemerintahan Indonesia, sebagaimana negara demokrasi lainya, menganut sistem sparation of power atau pembagian kekuasaan antar lembaga tinggi negara, yaitu kekuasan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan sistem demikian dimungkinkan adanya checks and balances antar kekuasan tersebut dan konsentrasi kekuasaan dapat dicegah. Tetapi yang masih sulit dijamin dalam sistem itu adalah sejauh mana interaksi politik antar lembaga tinggi itu terpengaruh oleh arus besar suara rakyat alias apakah rakyat mempunyai akses yang cukup untuk turut meramaikan dinamika diskursus yang sedang digagas oleh ketiga pemegang kekuasaan itu. Apakah bukan yang terjadi adalah mereka yang memegang kekuasaan “hanya” mengurusi kepentingan diri mereka sendiri karena memang jaring-jaring politik yang menghubungkan antara rakyat dengan pusat-pusat kekuasaan belum terbentuk. Inilah problem utama dalam reformasi politik hukum politik hukum Indonesia secara fundamental dan paradigmatik.
Habermas, sebagaimana telah disinggung di muka, menawarkan model demokrasi yang memungkinkan rakyat terlibat dalam proses pembuatan hukum dan kebijakan-kebijakan politik. Itulah demokrasi deliberatif yang menjamin masyarakat sipil terlibat penuh dalam pembuatan hukum melalui diskursus-diskursus. Tetapi bukan seperti dalam republik moral Rousseau di mana rakyat langsung menjadi legislator, maka dalam demokrasi deliberatif yang menentukan adalah prosedur atau cara hukum dibentuk. Dalam demokrasi deliberatif, kebijakan atau hukum yang akan dibentuk dipengaruhi oleh diskursus-diskursus yang terus-menerus (baca : mengalir) di dalam masyarakat. Di samping kekuatan Negara dan kekuatan kapital terbentuk kekuasaan komunikatif melalui jaringan-jaringan komunikasi publik masyarakat sipil. Kekuasaan komunikatif masyarakat sipil dimainkan melalui media, pers, LSM, Organisasi massa dan lembaga-lembaga lain yang seolah-olah dalam posisi mengepung sistem politik, sehingga negara dan perangkat kekuasaannya terpaksa responsif terhadap diskursus-diskursus masyarakat sipil. Sebaliknya masyarakat sipil bisa mengembangkan kekuasaan komunikatifnya karena dalam negara hukum demokratis kebebasannya untuk menyatakan pendapat terlindungi. Kekuasaan komunikatif masyarakat sipil tidak menguasai sistem politik, namun dapat mempengaruhi keputusan-keputusannya.
Adalah sangat berbahaya jika negara (kekuasaan legislatif) dalam merumuskan hukum dan kebijakan-kebijakan politik penting lainnya bersikap otoritarian dan eksklusif. Affan Ghaffar telah membuat perbandingan antara dua model pembentukan agenda (agenda setting) dalam proses pembuatan undang-undang, yaitu model autoritarian dan demokratis (demokrasi deliberatif?). Model pertama, yang terlibat dalam pembangunan hukum adalah para elit utama plus pimpinan partai politik dan sejumlah tokoh militer (dalam beberapa kasus plus pengusaha kaya). Oleh karena itu, orientasi hukumnya tentu saja bersifat elitis dan cenderung membela kepentingan mereka sendiri. Di samping itu karakteristik lain yang menonjol adalah bersifat conservative, mempertahankan status quo. Sebaliknya, model kedua mensyaratkan keterlibatan masyarakat yang sangat tinggi karena diakuinya pluralisme politik di mana kelompok-kelompok di dalam masyarakat baik yang tergabung di dalam partai politik ataupun tidak (pressure groups, interest groups, media, dan lain-lain), termasuk juga LSM. Oleh karena itu produk hukumnya adalah bersifat populis dan progressive.
Persoalannya adalah bagaimana menjamin penguasa selalu tanggap alias responsif terhadap kehendak rakyat. Dalam hal ini Robert Dahl dalam bukunya Polyarchy : Partisipation and Oppposition, memberi ulasannya tentang apa yang harus dijamin oleh penguasa/pemerintah agar rakyat diberi kesempatan untuk : pertama, merumuskan preferensi atau kepentingannya sendiri; Kedua, memberitahukan perihal preferensinya itu kepada sesama warga negara dan kepada pemerintah melalui tindakan individual maupun kolektif; dan ketiga, mengusahakan agar kepentingannya itu dipertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak didiskriminasikan berdasarkan isi atau asal-usulnya.
Selanjutnya, kesempatan itu hanya mungkin tersedia kalau lembaga-lembaga dalam masyarakat bisa menjamin adanya delapan kondisi, yaitu ; pertama, kebebasan untuk membentuk dan bergabung dalam organisasi; kedua, kebebasan mengungkapkan pendapat; ketiga, hal untuk memilih dalam pemilihan umum; keempat, hak untuk menduduki jabatan publik; kelima, hak para pemimpin untuk bersaing memperoleh dukungan suara; keenam, tersedianya sumber-sumber informasi; ketujuh, terselenggaranya pemilihan umum yang bebas dan jujur; dan kedelapan adanya lembaga-lembaga yang menjamin agar kebijaksanaan publik tergantung pada suara pada pemilihan umum dan pada cara-cara penyampaian prefrensi yang lain.
Maka sumbangan Habermas dalam pembangunan sistem politik dan pemerintahan Indonesia pasca-Orde Baru menemukan titik signifikansinya, khususnya dalam upaya melakukan reformasi hukum yang sangat penting untuk mengokohkan pilar-pilar demokrasi di negeri ini. Untuk selanjutnya akan dibahas bagaimana mengontrol kekuasaan melalui pembentukan ruang publik (public sphere), sehingga masyarakat bisa melakukan tindakan-tindakan diskursif dalam posisinya sebagai oposisi atas kekuasaan yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar