Selasa, 17 Mei 2011

Good Governance, Mungkinkah dapat terlaksana di Indonesia?

Implementasi good governance membawa implikasi pada terjadinya pergeseran paradigma tata pemerintahan dari tata pemerintahan yang berorientasi pada monopoli peran pemerintah menjadi orientasi diskresi peran pemerintah. Pemerintah bukanlah aktor tunggal  penyedia layanan publik seperti dalam konsep old public admininistration, namun layanan publik merupakan bentuk partisipasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Fenomena pemerintah sebagai aktor tunggal dapat kita cermati pada era orde baru dimana pada saat itu pemerintah seolah-olah sebagai actor yang serba tahu. Pemerintah menyediakan segala jenis layanan dari birokrasi hingga tataran tekhnis seperti penyediaan transportasi. Akhirnya, pemerintah mengalami kerugian financial karena kuatnya mental korup para aparatur negara serta penyediaan layanan tersebut yang tidak disesuaikan dengan kemampuan keuangan pemerintah. disesuaikan dengan kemampuan keuangan pemerintah.
Diskresi peran pemerintah tersebut membuka peluang munculnya peran aktor swasta. Dewasa ini layanan publik bukan lagi dimonopoli oleh pemerintah, namun keterlibatan peran swasta sudah semakin jelas. Sebagai contoh perusahaan Telkom yang notabene sebagai penyedia jasa komunikasi di Indonesia, sekarang kepemilikan sahamnya bukan sepenuhnya berasal dari pemerintah. Telkom merupakan salah satu BUMN yang sahamnya saat ini dimiliki oleh pemerintah Indonesia (51,19%) dan oleh publik sebesar 48,81%. Sebagian besar kepemilikan saham publik (45,58%) dimiliki oleh investor asing dan sisanya (3,23%) oleh investor dalam negeri (http://id.wikipedia.org/wiki/Telekomunikasi_Indonesia). Hal ini membuktikan bahwa swasta mulai mengambil peran dalam pembangunan.
Berdasarkan contoh kasus diatas peran swasta diwujudkan dalam bentuk investasi. Namun, peran swasta tidak akan berdampak besar tanpa diikuti partisipasi aktif masyarkat dan kapabilitas birokrasi yang baik. Birokrasi yang red tape yaitu birokrasi yang berpenyakit (lamban, korup, nepotism, hierarkhis dan, kaku) akan menjadi penghambat proses pembangunan yang berkeadilan sosial. Sebagai contoh adalah kasus dugaan mafia pajak yang melibatkan Gayus mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp28 miliar yang berasal beberapa perusahaan yang masalah sengketa pajaknya ditangani oleh Gayus. MPM dan HN termasuk sepuluh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang dinonaktifkan karena diduga terkait Gayus Tambunan soal mafia perpajakan. HN terjerat tuduhan kasus pencucian uang dengan barang bukti sejumlah dokumen (http://www.antarasumut.com). Contoh lain adalah banyaknya PNS yang melakukan korupsi waktu yang apabila waktu yang dikorupsi tersebut dikurskan ke dalam rupiah maka akan mencapai akumulasi yang fantastis. Contoh tersebut hanyalah sebagian kecil dari beribu-ribu kasus yang menyangkut birokrasi.
Oleh karena itu, dibutuhkan birokrasi yang mampu mendorong dan mendukung proses pembangunan. Konsep good and democratic governance mengehendaki adanya birokrasi yang slim and lean (ramping dan tidak berlemak). Strukturnya harus ramping dan berisi orang-orang yang berkapabilitas dalam menyelenggarakan bidang pelayanan publik yang dipercayakan kepadanya (Guy Peters, The Future of Governing, 2001:118-120).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar